Oleh: Ayendi*
Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) lahir bukan tanpa alasan dan muncul begitu saja. Ada yang melatarbelakanginya yang bertitik-tolak dari evaluasi bentuk pendidikan sebelumnya dan aliran filsafat yang mendasari munculnya suatu bentuk pendidikan dan pengajaran yang maju saat sekarang ini. Tulisan ini mencoba memaparkan isu-isu tersebut yang pada penjelasan akhirnya mencoba untuk dikaitkan dengan model pembelajaran bahasa pada abad 21.
Kehidupan pada abad 21 yang dianggap penuh dengan keterbukaan bagi setiap orang dari seluruh negara dan tersedianya teknologi modern di setiap sendi kehidupan yang memudahkan segala aktivitas ini ternyata juga memiliki tantangan yang berat terutama bagi pelajar di Indonesia saat ini untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di masa depannya. Dampak dari globalisasi, perkembangan teknologi informasi dan kemajuan pengetahuan telah memberikan perubahan yang fenomenal terhadap tatanan kehidupan bagi individu, sosial, dan bernegara. Hal ini diakibatkan tidak adanya lagi sekat bagi setiap warga negara di dunia dan semuanya menyatu dalam satu warga dunia global. Seperti yang dikemukakan oleh. Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat (2005) menyatakan, “The world is deeply interconnected mainly because of the rapid rise in technology and sharp fall of trade barriers.”
21st Century Partnership Learning Framework (2009) mendefinisikan pendidikan abad 21 sebagai suatu peralihan paradigma dari pengajaran yang berfokus pada gurumenjadi pembelajaran yang berfokus pada peserta didik. Guru diharuskan lebih profesional agar dapat memberikan kegiatan-kegiatan yang menantang peserta didik untuk mampu berpikir kritis, kreatif dalam pemecahan masalah, serta mampu berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif dengan berbagai pihak dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang ada.
Sejalan dengan isu tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menginterpretasikan paradigma pembelajaran abad 21 adalah suatu proses pembelajaran yang menekankan pada kemampuan peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber, merumuskan permasalahan, berpikir analitis dan kerjasama serta berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah (Litbang Kemdikbud, 2013).
Jika dihubungkan dengan konteks suatu aliran filsafat, menurut Gutek (1974) aliran progresivisme oleh tokohnya John Dewey, sangat mendukung adanya pendidikan yang fleksibel dan ilmu pengetahuan tidak hanya dipahami secara kognitif, tetapi juga dapat dipraktekkan (learning by doing), sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Progresivisme digolongkan sebagai aliran yang bersikap anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme. Selain itu, progresivisme percaya akan kemampuan manusia sebagai subjek (peserta didik) yang memiliki potensi alamiah, terutama kekuatan-kekuatan self-regenerative untuk menghadapi dan mengatasi problematika hidupnya. Dalam filsafat progresivisme, pendidikan bukan hanya mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didik saja, akan tetapi dengan pendidikan diharapkan peserta didik bisa memahami realitas kehidupan yang akan terjadi di masa depan. Jadi, jelaslah bahwa orientasi aliran ini untuk masa depan yang lebih maju sesuai dengan kebutuhan.
Konsep aliran progresivieme ini sejalan dengan konteks pendidikan di Indonesia saat ini, seperti kebijakan pemerintah terkait program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) khususnya Perguruan Tinggi. Salah satu contoh dari program MBKM adalah program magang. Program magang yang dapat dilaksanakan hingga dua semester diharapkan mampu memberikan pengalaman yang cukup kepada mahasiswa dengan pembelajaran langsung di tempat kerja (experiential learning). Belajar dalam konteks ini memberikan pengalaman yang baik karena langsung diaplikasikannya dalam kehidupan nyata, sehingga ketika lulus, mahasiswa akan lebih mantap dalam memasuki dunia kerja dan karirnya (Kemdikbud, 2020).
Berkenaan dengan Merdeka Belajar itu juga, sistem pengajaran juga akan berubah dari yang awalnya bernuansa di dalam kelas menjadi di luar kelas. Nuansa pembelajaran akan lebih nyaman, karena murid dapat berdiskusi lebih dengan guru, belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi lebih membentuk karakter peserta didik yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, dan tidak hanya mengandalkan sistem ranking yang menurut beberapa survei hanya meresahkan anak dan orang tua saja, karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing. Nantinya, akan terbentuk para pelajar yang siap kerja dan kompeten, serta berbudi luhur di lingkungan masyarakat. Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim terdorong karena keinginannya menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu (Kemdikbud, 2020).
Di samping berbagai model pembelajaran, berbagai tema dan fungsi bahasa dalam pembelajaran harus sejalan trend keterampilan pendidikan abad 21, seperti kesadaran global (dapat belajar dari dan bekerja sama dengan individu dari beragam budaya, agama, ideologi, dan gaya hidup dalam lingkungan keterbukaan dan saling menghormati); literasi finansial, ekonomi, perdagangan dan kewirausahaan (memahami konsep dan peran ekonomi dalam hidup); literasi kewarganegaraan (belajar bagaimana menjadi warga negara yang beradap); literasi kesehatan (memperoleh, menginterpretasi dan memahami konsep dasar akses dan pelayanan kesehatan, memahami bagaimana melakukan tindakan preventif baik fisik maupun kesehatan mental); literasi lingkungan (menampilkan pengetahuan dan pemahaman tentang persoalan lingkungan hidup); serta menempat fungsi bahasa yang sesuai dengan capaian tema-tema tersebut (Menggo, 2019).
Dari paparan di atas dapat disimpulkan aliran filsafat progresivisme sejalan dengan teori atau kurikulum pendidikan Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang berlandaskan kemerdekaan dan pleksibilitas pada peserta didik untuk menentukan kebutuhan pendidikan yang diinginkannya, kemandirian di dalam belajar, dan pengalaman belajar langsung yang di dapatkan di lapangan. Bentuk pengajaran atau pendidikan ini tentunya berimplikasi kepada bentuk atau model-model pembelajaran bahasa yang mesti menerapkan keterampilan 6C yang sangat dibutuhkan agar dapat bersaing dan bertahan hidup pada abad 21 yang global ini. (*Dosen Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
0 Komentar