Padang, MaestroInfo--Keadilan restoratif lebih dikenal dengan restorative justice telah membuka peluang bagi para pencari keadilan dalam kasus tindak pidana di Indonesia. Pada hakekatnya, melalui langkah ini, penanganan kasusnya tidak perlu lagi masuk ke pengadilan, namun cukup melalui mekanisme kekeluargaan antara pelaku dengan korban.
Seperti diketahui, praktik penegakan hukum dengan mengadopsi prinsip keadilan restoratif untuk menyelesaikan suatu perkara pidana ini sudah pula dilakukan di semua institusi penegakan hukum di Indonesia, baik Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia maupun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Bahkan semenjak tahun 2012 lalu, pimpinan dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagai lembaga penegakan hukum di Indonesia telah menandatangani Nota Kesepakatan Bersama pada tanggal 17 Oktober 2012, yang mengatur mengenai penyelesaian perkara pidana melalui prinsip keadilan restoratif atau restorative justice.
Sementara di Sumatera Barat (Sumbar) penerapan restorative justice ini tidak saja melibatkan institusi penegakan hukum, tapi juga memberi peran kepada ninik mamak dan tokoh adat, dengan menggandeng Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).
Sebagai tindaklanjutnya, Kapolda Sumbar Irjen. Pol. Teddy Minahasa Putra, SH, SIK bersama Keua LKAAM Sumbar, DR. Fauzi Bahar, M.Si Datuak Nan Sati menandatangani nota kesepakatan atau Memorandum of Understanding (MoU), terkait restorative justice di Auditorium Hotel Emersia, Batusangkar, Minggu 27 Februari 2022.
Nota kesepakatan antara Polda dan LKAAM Sumbar terkait penyelesaian perkara pidana melalui prinsip keadilan restoratif itu disambut positif berbagai kalangan. Ini tampak jelas dari diskusi diskusi tentang restorative justice Polda dengan LKAAM, yang dilaksanakan oleh Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) perkumpulan perusahaan Media Online Indonesia (MOI) Provinsi Sumbar di bawah kepemimpinan Anul Zufri SH, MH, yang dilaksanakan di kantor Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, di Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, Jum’at 12 Agustus 2022.
Diskusi yang dimulai jam 14.00 WIB itu menghadirkan nara sumber Gubernur Sumbar diwakili oleh Kepala Biro Hukum Provinsi Sumbar Ezeddin Zain, Kapolda Sumbar diwakili Kepala Bidang Hukum, Komisaris Besar (Kombes) Pol Nina Febri Linda, SH. MH didampingi Kasubbidsunluhkum AKBP Andi Sentosa SH, Ketua LKAAM Sumbar diwakili Sekretaris V Misral Rajo Batuah SH, Kajati Sumbar diwakili Okta Z SH HM, Kasi Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda (Oharda) Pidang Tindak Pidana Umum.
Selain itu juga tampak hadir Ketua Harian Serikat Advokat Muslim Indonesia (SAMI) Yunizal Chaniago, Wakil Bendahara Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (DPC Peradi) Padang, Mettalia Yolanda serta para wartawan dan pemilik media online.
Menurut Yunizal Chaniago, apa yang dilakukan Polda dan LKAAM Sumbar ini adalah langkah positif dan perlu didukung semua kalangan.
Menurutnya, dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman pidana, paling tidak terdapat tiga hal yang ingin dicapai dengan pemberlakuan hukum pidana di dalam masyarakat, yaitu membentuk atau mencapai cita kehidupan masyarakat yang ideal atau masyarakat yang dicitakan, mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai luhur dalam masyarakat, dan mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan diikuti oleh masyarakat dengan teknik perumusan norma yang negatif.
Sementara kata dia, restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut, demi kepentingan masa depan.
“Keadilan restoratif sebagaimana pada dasarnya adalah sebuah pendekatan hukum pidana yang memuat sejumlah nilai tradisional. Hal ini didasarkan pada dua indikator yaitu nilai-nilai yang menjadi landasannya dan mekanisme yang ditawarkannya. Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan mengapa keberadaan keadilan restoratif diperhitungkan kembali. Keberadaan pendekatan ini barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri,” kata Yunizal Chaniago.
Sementara itu Kepala Bidang Hukum Polda Sumbar Kombes Pol Nina Febri Linda, diwakili Kasubbidsunluhkum AKBP Andi Sentosa mengatakan, keadilan restoratif sebagaimana pada dasarnya adalah sebuah pendekatan hukum pidana yang memuat sejumlah nilai tradisional. Hal ini didasarkan pada dua indikator yaitu nilai-nilai yang menjadi landasannya dan mekanisme yang ditawarkannya.
“Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan mengapa keberadaan keadilan restoratif diperhitungkan kembali. Keberadaan pendekatan ini barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri,” kata AKBP Andi Sentosa.
Kata Andi Sentosa, sebelumnya pada tanggal 19 Agustus 2021, Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si, telah menandatangani Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 08 Tahun 2021, tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, yang tercatat dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun 2021 Nomor 947.
“Pada prinsipnya, penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan,” kata Andi Sentosa.
Sementara itu Okta Z, SH HM, Kasi Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda (Oharda) Pidang Tindak Pidana Umum mengatakan, telah menjadi hal yang lazim dan berlaku universal bahwa tindakan menuntut suatu perkara pidana selalu berada di sebuah lembaga pemerintah yang bernama Kejaksaan.
“Pelaksanaan kewenangan tersebut selalu disertai dengan asas hukum meliputinya, yakni “Dominus Litis”, yang berarti tidak ada badan lain yang berhak melakukan itu, kecuali Jaksa. Secara etimologis, dominus berasal dari bahasa latin yang berarti pemilik. Sementara, litis artinya perkara. Jadi, apabila diterjemahkan dominus litis berarti pemilik atau pengendali perkara,” kata Okta Z.
Okta menjelaskan, konsekuensi dari asas ini adalah bahwa Jaksa (penuntut umum) merupakan satu-satunya badan yang berwenang untuk menentukan suatu perkara layak atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan. Asas ini pun dimuat dalam Guidelines on the Role of Prosecutors yang diadopsi dari Kongres PBB ke-8, tentang Pencegahan Tindak Pidana dan Penanganan Terhadap Para Pelaku Kejahatan, di Havana, Cuba pada tahun 1990.
Peserta terlihat serius mengikuti diskusi.
Menurut Okta, asas dominus litis memberikan konsekuensi bahwa pengendalian kebijakan penuntutan di suatu negara harus dilakukan di satu tangan yakni di bahwa kendali Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi. Di Indonesia, eksistensi Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Secara historis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan menyebutkan bahwa: “Jaksa Agung adalah Penuntut Umum Tertinggi”.
Kemudian, disebutkan pula bahwa Jaksa Agung dan Jaksa-Jaksa memberikan petunjuk-petunjuk, mengoordinasikan dan mengawasi alat-alat penyidik sesuai hierarki. Dan, dalam pelaksanaan tugas para Jaksa tersebut, Jaksa Agung adalah pemimpin dan pengawasnya.
Pengaturan tersebut, kata Okta menambahkan, pada hakikatnya merupakan cerminan dari pelaksanaan prinsip single prosecution system, yang berarti tidak ada lembaga lain yang berhak melakukan penuntutan kecuali berada di bawah kendali Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi negara, agar terpeliharanya kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerjanya.
Sementara itu kata Okta menambahkan, dalam ruang lingkup Kejaksaan Republik Indonesia, keadilan restoratif atau restorative justice diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No.15 Tahun 2020, tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Untuk itu, kata dia, Kejaksaan Agung RI telah pula berupaya membentuk Rumah Restorative Justice di seluruh kejaksaan tinggi di Indonesia sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan perkara secara cepat, sederhana, dan biaya ringan.
“Dalam pelaksanaannya, penyelesaian perkara dengan prinsip keadilan restoratif memperoleh respons positif dari masyarakat, sehingga perlu dilembagakan oleh kejaksaan dengan membentuk Rumah Restorative Justice. Saat ini di Sumbar telah lahir 85 Rumah Restorative Justice. Di Kabupaten Solok, semua nagari sudah memiliki Rumah Restorative Justice ini, kata Okta.
Dikatakannya, Balai Restorative Justice telah hadir pola di Kota Sawahlunto, yang terletak di Balai Kerapatan Adat Nagari (KAN) Talawi yang diresmikan, Selasa 7 Juni 2022. Sementara itu di Kabupaten Sijunjung telah pula terbentuk dua Rumah Retorative Justice di dua nagari di daerah tersebut.
“Harapannya, dengan lahirnya Rumah Retorative Justice ini dapat terwujudnya kepastian hukum yang lebih mengedepankan keadilan yang tidak hanya bagi tersangka, korban, dan keluarganya, tetapi juga keadilan menyentuh masyarakat dengan menghindari adanya stigma negatif," ujar Okta.
Intinya, dalam diskusi yang digagas DPW MOI Sumbar ini, semua peserta sepakat bahwa kelahiran restorative justice dapat menjadi angin segar bagi pencari keadilan dalam kasus tindak pidana dan tidak perlu lagi masuk ke pengadilan, namun cukup melalui mekanisme kekeluargaan antara pelaku dengan korban, dengan syarat tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat. (Febriansyah Fahlevi)
0 Komentar